Senin, 11 November 2013

Sang Pencerah

Kisah si Pengayuh (Bag.1)
Foto Hanya Ilustrasi


Titik awal ...
Kemiskinan , kesenjangan sosial begitu terasa di kampung ku.Ada sebagian orang yang selalu memeras dan mencekik saudaranya sampai begitu kehabisan nafas.Menghela nafas pun aku rasa tidak bisa, si pencekik itu ialah orang yang menurutku cukup kaya, bisa dilihat dari rumah gedongan tingkat mewah , Di jaga oleh beberapa preman sewaan.Pagar rumah itu pun sangat tinggi dan di atasnya di pasang kawat berduri.Seperti nya si pencekik takut jika ada orang yang nekat mencuri uang di rumahnya.

Darso berprofesi sebagai tukang becak , setiap hari ia mengayuh becak tanpa kenal lelah ,walaupun aku tahu badan nya sungguh ringkih , tetapi semangat nya untuk mencari nafkah sungguh besar , tidak peduli panas ataupun hujan.Ia biasa beristirahat di warung di samping pangkalan becak.Aku sering mengobrol basa basi dengan pak Darso ini.Aku membicarakan banyak hal , menurutku Pak Darso sangat pintar dan pengetahuannya luas.Pertama kita mengobrol hanya membicarakan masalah sosial masyarakat , setelah itu Pak Darso mulai menceritakan bagimana sulitnya hidup ini.

Semua berawal dari kenekatan Darso pergi ke kota ,ia ingin seperti saudara dan teman yang sukses usaha dan bekerja di kota , mereka yang sukses pulang ke kampung dengan cerita tentang keadaan di kota dan menceritakan bagaimana enak nya tinggal di kota.Memang kampung ini sangat terpencil , jauh dari hiruk pikuk keramaian, Darso pun berniat ingin pergi ke kota untuk merubah nasib nya.

Tiba lah hari disaat Darso beranjak dari tanah kelahirannya, ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang , dari pakaian , makanan dan uang , tidak lupa ia bawa ijazah sekolah menengah pertama nya, sebagai modal untuk dapat di terima bekerja.Ia bersiap menghadapi takdirnya di kota.Sebelum berangkat ia pamit ke ibu dan bapak,tangisan ibu mengantarkan Darso ke mobil sayuran , yang kebetulan akan mengirim sayuran –sayuran segar ke kota.

Sampai di Kota pencakar langit ...

Matanya selalu menengok keatas , ia kagum melihat begitu megah dan indahnya gedung-gedung pencakar langit itu.Ia membayangkan bagaimana manusia dapat membuat bangunan yang megah dan tinggi itu.Darso seperti anak baru mengenal dunia , ia baru sadar dunia nya dahulu sungguh sempit , ia tidak pernah melihat gedung – gedung tinggi , karena kampung nya belum di aliri listrik.

Dua malam sudah ia tinggal di mushola , karena ia tidak tahu teman dan saudaranya menetap dimana.Ke esokan hari nya , ia mulai mencari pekerjaan .Walaupun bajunya terlihat kusut , ia tetap berusaha agar dapat di terima bekerja di kota.Fajar menyingsing tandanya Darso untuk berangkat mencari kerja.

Matahari sudah di atas kepala , Darso baru merasakan panas yang sangat seperti ini ,karena di kampung suasananya sejuk dan damai , beda jauh seperti di kota . debu dan asap selalu menghalangi langkahnya mencari kerja.Tiap gedung ia datangi ,beberapa kali ia diusir satpam karena pakaiannya kusut dan sedikit lusuh yang di pakai Darso.Mungkin satpam mengira ia akan minta sumbangan.

Langkahnya semakin lelah , terkadang ia duduk dan beristirahat sejenak melepaskan lelah.Ia haus namun tidak memiliki uang untuk membeli air,bekal uang dari kampung tidak cukup memenuhi kebutuhannya di kota yang serba mahal.Ia mencari mushola untuk beribadah dan beristirahat.Ia meminum air keran mushola karena tidak ada pilihan.

Sampai ada pria setengah baya datang dan menegurnya ,

“Anak muda , kenapa kamu meminum air keran ? Air keran ini berasal dari sumur dan tidak baik unuk langsung diminum.”
Darso pun menjawab ,
“Tidak apa pak , Mudah-mudahan apa yang saya minum menjadi baik untuk badan saya , karena saya selalu memohon perlindungan kepada nya”

Maka , pria setengah baya tersebut mengajak Darso mengobrol , Pria setengah baya tersebut ternyata adalah seorang pengusaha kain di kota.Pria itu mengajak Darso untuk bekerja padanya.Ia sungguh lega dan tenang , akhirnya ia kini mendapat pekerjaan.Ia lalu sujud kepada yang maha kuasa seraya berterima kasih yang sebesar-besarnya.

0 komentar:

Posting Komentar